Langsung ke konten utama

Apakah di Indonesia Bisa Turun Salju?

Kalau di luar lagi panas-panasnya, kita mungkin langsung kebayang gimana serunya kalau turun salju. Tapi, sebetulnya bisa nggak sih, salju turun di negara tropis seperti Indonesia?


Rupanya, supaya salju bisa turun di suatu wilayah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Dan umumnya, hanya daerah subtropis dan Kutub saja yang bisa memenuhinya! Hujan salju cuma bisa terbentuk saat uap air di langit sana membeku dan bergabung menjadi kristal salju. Supaya hal ini bisa terjadi, kita butuh udara yang lembab. Buat yang satu ini, Indonesia emang juaranya.

Masalahnya, kita juga butuh suhu udara di bawah nol derajat Celsius. Di Indonesia, mana ada tempat sedingin itu?

Tapi, jangan salah. Faktanya, di seluruh dunia ada 3 negara tropis yang punya puncak bersalju. Dan Indonesia sangat beruntung jadi salah satunya! Di Pegunungan Jayawijaya, ada beberapa puncak yang tertutup lapisan salju. Hanya saja, lapisan ini ternyata bukan hasil hujan salju terus-terusan, tapi sisa-sisa dari Zaman Es ribuan tahun lalu. Lapisan es ini bisa terus bertahan karena saking dinginnya suhu di ketinggian Jayawijaya. Tapi suhu itu pun bahkan nggak sampai minus derajat. Dengan semakin panasnya suhu global, es Jayawijaya juga makin menyusut. Tanpa adanya hujan salju baru, lapisan es ini bisa saja lenyap tidak lama lagi. Sepertinya kita memang butuh keajaiban biar salju bisa turun di Indonesia…


Tapi, jangan buru-buru sedih! Meski nggak bisa turun salju, di negara tropis mungkin banget turun hujan es! Fenomena ini bahkan sudah beberapa kali terjadi di Indonesia. Kalau salju terbentuk dari pembekuan air dalam wujud gas, hujan es tercipta dari pembekuan air dalam bentuk cair. hujan es terjadi saat lapisan udara hangat berada tepat di bawah awan yang niatnya menghasilkan salju. (diubah menjadi: Hujan es sering terjadi saat peralihan musim, ketika sekumpulan udara lembab bergerak naik tepat dibawah lapisan udara kering, lalu terkena tiupan angin yang dingin dari wilayah gunung ) Akhirnya, yang turun jadi bongkahan padat macam es batu dari kulkas kita. Jadi, ada baiknya kita nggak jogged-joged di bawah derai hujan yang satu ini…


Bagaimanapun, salju yang sangat… sangat… sangat kita dambakan mungkin masih bisa turun di Indonesia. Dengan catatan, terjadi kekacauan iklim dan musim, seperti akibat jika Bulan suatu saat lenyap. Tapi jika ini terjadi, kasihan juga hewan-hewan dan tumbuhan Indonesia yang biasa panas-panasan. Selain itu, bisa gawat nasib makanan pokok kita nanti!


Jadi, nggak usah cemburu sama salju tetangga. Mending kita bangga sama salju sendiri… mumpung masih ada. Dan seperti biasa, terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

perbedaan animasi 4D dan 5D

Animasi 4D  Tidak berbeda jauh dengan format 3D, hanya saja efek dari film 4D ini, bukan hanya gambarnya saja yang keluar, melainkan ada getaran-getaran atau efek-efek nyata yg dihasilkan. Misalnya saja film-film animasi bertema kehidupan alam, ketika adegan di air, maka ada air yang menyipratkannya ke wajah kita, atau uap air menetes. Lalu ketika adegan gempa bumi, maka kursi yang kita duduki akan bergetar juga, memang unik dan mengasyikan tetapi para penonton pasti tidak akan fokus ke filmnya melainkan ke efeknya saja. Film berformat seperti ini tidak hanya mengacu pada layar bioskop saja, melainkan beberapa aplikasi media seperti penggerak kursi yang menghasilkan getaran, uap air, serta beberapa efek lainnya, termasuk AC yang bisa tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin saat adegan salju, dan Heater yang dapat memanas saat adegan padang pasir. Dan format film ini pun harus diputar pada bioskop-bioskop khusus saja. Sedangkan animasi 5D sebenarnya di beberapa negara eropa ada ne...

Kenapa 1 Tahun Itu 12 Bulan?

Nenek moyang kita dulu membuat kalendar berdasarkan berbagai macam perhitungan. Mulai dari perhitungan astronomi, pergantian musim, peristiwa politik hingga prediksi kiamat. Ini seperti yang ditanyakan oleh teman-teman kita ini, kenapa sistem kalender kita harus memiliki 12 bulan dalam setahun? Kenapa bukan misalnya, 20 bulan? Apa dasar perhitungannya? Pendeknya, kalender yang kita gunakan sekarang itu mengadopsi sistem kalender romawi. Awal mulanya, sistem dalam kalender romawi ini hanya memiliki 10 bulan atau 304 hari saja dalam setahun. Tapi, jumlah 10 bulan ini kemudian dianggap kurang tepat, karena tidak bisa sinkron dengan pergantian musim yang terjadi. Hingga akhirnya, Kaisar Romawi pada saat itu, Numa Pompilius, menambahkan 2 bulan baru, yakni Januari dan Februari. Dan kemudian setelah itu, disempurnakan lagi oleh sistem kalender Julian, yang namanya diambil dari Julius Caesar, kaisar romawi saat itu. Lalu ketika bangsa di eropa mulai mengembangkan sains dan memahami astron...

Bagaimana Cara Mengetahui Umur Benda Purba?

Coba tebak, sudah berapa lama Sultan Jogjakarta yang pertama meninggal? Jawabannya mudah. Kita kurangkan saja tanggal hari ini dengan tanggal kematian sang sultan. Tapi, bagaimana kalau kita ditanya, sudah berapa lama Firaun Mesir yang pertama meninggal? Atau, sudah berapa lama kucing kesayangannya meninggal? Pertanyaan semacam ini, tampaknya selalu bisa dijawab oleh para peneliti benda purba. Buktinya, setiap peninggalan bersejarah yang kita lihat di museum selalu ada keterangan umurnya. Namun seperti pertanyaan ini, pernahkah kalian penasaran, bagaimana para peneliti bisa tahu umur mumi, prasasti, atau benda-benda purba lainnya? Padahal, mereka jelas belum lahir pada zaman itu. Apakah mereka cuma asal tebak? Atau jangan-jangan, para peneliti ini diam-diam punya mesin waktu? Ternyata, pengukuran umur benda purba bisa dilakukan secara ilmiah tanpa perlu time-travel, yaitu dengan teknik dating. Bukan… Bukan dating yang itu, tapi dating yang lainnya. Teknik dating benda purba sendiri...