Sejak peristiwa nine-eleven, yaitu pemboman World Trade Center dan Gedung Pentagon pada 11 September 2001, aksi terorisme menjadi salah satu hal yang paling menakutkan bagi masyarakat dunia. Namun, dengan pesatnya kemajuan teknologi, kita akhirnya bisa bernafas lega. Menggunakan aneka alat intelijen canggih, saat ini kita tahu, bahwa pemerintah bisa mengawasi setiap gerak-gerik para teroris untuk mencegah aksi terorisme. Namun, apa jadinya jika teknologi canggih ini ternyata juga digunakan pemerintah untuk mengawasi kita, secara diam-diam?
Di era serba digital seperti saat ini, gerak-gerik setiap orang faktanya, bisa diawasi dengan mudah. Fakta ini, pertama kali diungkap oleh Edward Snowden, seorang mantan agen Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat. Pada tahun 2013, Snowden membocorkan dokumen rahasia Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat yang membuktikan bahwa ternyata, selama ini Pemerintah Amerika Serikat memata-matai warga negaranya sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Setelah serangan 11 September, pemerintah Amerika Serikat bekerjasama dengan N-S-A, memulai program pengawasan teroris, yang bertujuan mencegah komunikasi yang berhubungan dengan jaringan teroris Al-Qaeda. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat juga mengesahkan Patriot Act, yaitu undang-undang yang mengatur penyadapan dan pengawasan orang yang dicurigai terlibat aktivitas terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri.
Namun pada praktiknya, pemerintah Amerika Serikat tidak hanya memata-matai target yang dicurigai mengancam keamanan negara, tapi juga seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Dari data pengguna ponsel, NSA mengumpulkan dan menyimpan METADATA, yaitu informasi pribadi seperti siapa menelepon siapa, di mana, kapan,dan berapa lama.
Bahayanya, program ini juga dijalankan secara diam-diam tanpa persetujuan warga yang diawasi. Lebih dari itu, NSA meminta perusahaan seperti Google dan Microsoft, untuk memberikan informasi lalu lintas internet para pengguna mereka sebagai data tambahan. NSA juga kemudian meminta Apple untuk membuat program yang dapat memecahkan kode enkripsi iPhone milik teroris. Bagaimanapun, akhirnya Apple menolak, karena menurut mereka, program ini juga bisa disalahgunakan untuk melanggar privasi para pengguna iPhone di seluruh dunia.
Pertanyaannya, apa yang selanjutnya dilakukan Pemerintah Amerika Serikat dengan semua data ini? Faktanya, program ini tidak memudahkan para penegak hukum untuk menangkap lebih banyak teroris, atau mencegah aksi terorisme. Program ini justru digunakan misalnya untuk mengawasi orang-orang yang berasal dari daratan Arab maupun negara-negara bermayoritas penduduk Muslim. Mungkin, benar bahwa data random yang terlalu banyak bukannya menguntungkan, tapi malah memusingkan.
Bagaimanapun, kita hidup pada era di mana ponsel pintar dan komputer jadi bagian penting sehari-hari. Sekarang, keamanan kita lebih terancam karena siapapun, bisa memata-matai siapapun. Alat untuk menyadap telepon dari jarak jauh sudah bisa didapatkan dengan mudah. Sebuah perusahaan kerjasama Inggris dan Jerman bahkan telah menciptakan aplikasi yang mampu meretas ponsel kita, seperti mengaktifkan kamera dan perekam suara tanpa kita sadari sama sekali.
State surveillance atau pengawasan oleh pemerintah memang perlu untuk mencegah tindak kejahatan, apalagi terorisme. Tetapi, program ini juga rawan disalahgunakan untuk membatasi hak kita untuk berpendapat, berkumpul, dan berekspresi. Di Perancis sendiri misalnya, state surveillance sudah digunakan untuk menghentikan protes tentang perubahan iklim. Sementara di Turki, state surveillance dipakai untuk memenjarakan orang-orang yang mengkritik pemerintahan.
Selama 32 tahun, masyarakat Indonesia sendiri pernah mengalami state surveillance yang sangat menekan kebebasan. Baru setelah Reformasi 1998, kita bisa berkembang menjadi salah satu negara paling demokratis di Asia Tenggara.
Saat ini, kita sudah bisa menikmati kebebasan yang sangat luas di dunia nyata maupun dunia maya. Indonesia menjamin kebebasan-kebebasan ini dengan mengesahkan beberapa kebijakan, seperti UU Keterbukaan Informasi, UU Pers, dan UU I-T-E.
Agar kebebasan ini tidak lenyap tiba-tiba dengan alasan keamanan dan stabilitas negara, kita harus menyadari bahwa kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi adalah hak yang harus diperjuangkan. Bagaimanapun, hak ini juga harus kita gunakan dengan bertanggung jawab. Di sisi lain, state surveillance harus diimbangi oleh sistem peradilan dan penegakan hukum yang baik. Pemerintah juga perlu transparan dan terbuka dalam praktik surveillance. Misalnya bijak menentukan situs-situs internet mana yang perlu diblokir dan mana yang tidak.
Jadi, manfaatkan kebebasan kita dengan sebaik mungkin dengan #BeraniBertanya. Jangan sampai, suatu saat nanti, kita dilarang menonton video ini karena dianggap mengancam keamanan negara. Dan seperti biasa, terima kasih.
sumber : https://kokbisachannel.wordpress.com/2016/09/11/apakah-kita-dimata-matai/
Di era serba digital seperti saat ini, gerak-gerik setiap orang faktanya, bisa diawasi dengan mudah. Fakta ini, pertama kali diungkap oleh Edward Snowden, seorang mantan agen Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat. Pada tahun 2013, Snowden membocorkan dokumen rahasia Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat yang membuktikan bahwa ternyata, selama ini Pemerintah Amerika Serikat memata-matai warga negaranya sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Setelah serangan 11 September, pemerintah Amerika Serikat bekerjasama dengan N-S-A, memulai program pengawasan teroris, yang bertujuan mencegah komunikasi yang berhubungan dengan jaringan teroris Al-Qaeda. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat juga mengesahkan Patriot Act, yaitu undang-undang yang mengatur penyadapan dan pengawasan orang yang dicurigai terlibat aktivitas terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri.
Namun pada praktiknya, pemerintah Amerika Serikat tidak hanya memata-matai target yang dicurigai mengancam keamanan negara, tapi juga seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Dari data pengguna ponsel, NSA mengumpulkan dan menyimpan METADATA, yaitu informasi pribadi seperti siapa menelepon siapa, di mana, kapan,dan berapa lama.
Bahayanya, program ini juga dijalankan secara diam-diam tanpa persetujuan warga yang diawasi. Lebih dari itu, NSA meminta perusahaan seperti Google dan Microsoft, untuk memberikan informasi lalu lintas internet para pengguna mereka sebagai data tambahan. NSA juga kemudian meminta Apple untuk membuat program yang dapat memecahkan kode enkripsi iPhone milik teroris. Bagaimanapun, akhirnya Apple menolak, karena menurut mereka, program ini juga bisa disalahgunakan untuk melanggar privasi para pengguna iPhone di seluruh dunia.
Pertanyaannya, apa yang selanjutnya dilakukan Pemerintah Amerika Serikat dengan semua data ini? Faktanya, program ini tidak memudahkan para penegak hukum untuk menangkap lebih banyak teroris, atau mencegah aksi terorisme. Program ini justru digunakan misalnya untuk mengawasi orang-orang yang berasal dari daratan Arab maupun negara-negara bermayoritas penduduk Muslim. Mungkin, benar bahwa data random yang terlalu banyak bukannya menguntungkan, tapi malah memusingkan.
Bagaimanapun, kita hidup pada era di mana ponsel pintar dan komputer jadi bagian penting sehari-hari. Sekarang, keamanan kita lebih terancam karena siapapun, bisa memata-matai siapapun. Alat untuk menyadap telepon dari jarak jauh sudah bisa didapatkan dengan mudah. Sebuah perusahaan kerjasama Inggris dan Jerman bahkan telah menciptakan aplikasi yang mampu meretas ponsel kita, seperti mengaktifkan kamera dan perekam suara tanpa kita sadari sama sekali.
State surveillance atau pengawasan oleh pemerintah memang perlu untuk mencegah tindak kejahatan, apalagi terorisme. Tetapi, program ini juga rawan disalahgunakan untuk membatasi hak kita untuk berpendapat, berkumpul, dan berekspresi. Di Perancis sendiri misalnya, state surveillance sudah digunakan untuk menghentikan protes tentang perubahan iklim. Sementara di Turki, state surveillance dipakai untuk memenjarakan orang-orang yang mengkritik pemerintahan.
Selama 32 tahun, masyarakat Indonesia sendiri pernah mengalami state surveillance yang sangat menekan kebebasan. Baru setelah Reformasi 1998, kita bisa berkembang menjadi salah satu negara paling demokratis di Asia Tenggara.
Saat ini, kita sudah bisa menikmati kebebasan yang sangat luas di dunia nyata maupun dunia maya. Indonesia menjamin kebebasan-kebebasan ini dengan mengesahkan beberapa kebijakan, seperti UU Keterbukaan Informasi, UU Pers, dan UU I-T-E.
Agar kebebasan ini tidak lenyap tiba-tiba dengan alasan keamanan dan stabilitas negara, kita harus menyadari bahwa kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi adalah hak yang harus diperjuangkan. Bagaimanapun, hak ini juga harus kita gunakan dengan bertanggung jawab. Di sisi lain, state surveillance harus diimbangi oleh sistem peradilan dan penegakan hukum yang baik. Pemerintah juga perlu transparan dan terbuka dalam praktik surveillance. Misalnya bijak menentukan situs-situs internet mana yang perlu diblokir dan mana yang tidak.
Jadi, manfaatkan kebebasan kita dengan sebaik mungkin dengan #BeraniBertanya. Jangan sampai, suatu saat nanti, kita dilarang menonton video ini karena dianggap mengancam keamanan negara. Dan seperti biasa, terima kasih.
sumber : https://kokbisachannel.wordpress.com/2016/09/11/apakah-kita-dimata-matai/
Komentar
Posting Komentar