Langsung ke konten utama

Benarkah Mendengarkan Musik Klasik Membuat Kita Pintar?

Menjelang ujian, para siswa Indonesia pasti ada saja akalnya agar bisa mengerjakan soal dengan baik. Ada yang belajar mati-matian sampai mimisan atau justru sibuk membuat contekan aneka bentuk. Mungkin ada juga yang memilih mendengarkan musik klasik semalam suntuk karena katanya bisa membuat kita lebih pintar. Tapi, benarkah musik klasik bisa mencerdaskan otak kita dalam sekejap?

Sayangnya, anggapan ini ternyata tidak benar. Mitos musik klasik dapat mencerdaskan sebetulnya merupakan salah paham dari artikel hasil eksperimen 3 peneliti asal University of California di Irvine, Amerika Serikat. Dalam eksperimen tersebut, mereka meminta sekelompok mahasiswa mendengarkan sonata karya komposer ternama Wolfgang Amadeus Mozart selama 10 menit.

Rupanya, kemampuan spasial-temporal para mahasiswa tersebut meningkat 8 sampai 9 persen. Kemampuan spasial-temporal sendiri adalah kemampuan untuk mengenali ruang, bentuk, dan arah. Hasil penelitian ini kemudian diterbitkan di salah satu jurnal ilmu pengetahuan paling bergengsi di dunia.

Bagaimanapun, peningkatan kemampuan khusus ini salah diterjemahkan banyak orang sebagai peningkatan seluruh IQ alias kecerdasan intelektual kita. Dalam bukunya, seorang dokter spesialis Telinga-Hidung-Tenggorokan bernama Alfred A. Tomatis mengklaim bahwa mendengarkan karya Mozart dan musik klasik lainnya dapat memicu penyembuhan tubuh dan perkembangan otak.

Beberapa tahun kemudian, seorang pendidik sekaligus musisi bernama Don Campbell menerbitkan buku berjudul Efek Mozart yang langsung laris manis di pasaran. Saking booming-nya, survei menemukan bahwa 73% mahasiswa pengantar psikologi di Amerika Serikat bahkan percaya bahwa mendengarkan musik Mozart bisa menambah kecerdasan. Gubernur negara bagian Georgia dan Tennessee, Amerika Serikat pun sampai menyiapkan dana khusus untuk membagikan CD musik Mozart gratis bagi setiap bayi yang baru lahir.

Akhirnya seperti saat kita sedang main pesan berantai, semakin lama anggapan ini tersebar, justru semakin ngawur. Entah bagaimana, sebuah artikel di Amerika Serikat menulis bahwa Efek Mozart bisa membantu anak-anak meningkatkan kinerja pikiran mereka. Sebuah artikel koran di Tiongkok bahkan menyatakan bahwa bayi yang mendengarkan musik Mozart sejak dalam kandungan bisa lahir lebih pintar dari bayi-bayi yang lain.

Setelah diteliti lebih lanjut, rahasia meningkatkan kinerja otak kita ternyata bukan musik Mozart atau musik klasik lainnya, tapi kegairahan emosional! Artinya, apa pun yang membuat kita enjoy kemungkinan dapat membuat kita berpikir dan mengerjakan tugas dengan lebih baik. Hal ini tidak cuma berlaku buat musik klasik, tetapi juga musik lain seperti rock keroncong, dangdut, bahkan campur sari.

Musik memang bisa memicu hormon endorfin bisa mengurangi stres, membuat kita rileks, dan membantu kita berpikir jernih. Bagaimanapun, efek ini cuma bersifat sementara bukan selamanya. Jadi, daripada kita cuma tidur-tiduran sambil mendengarkan musik klasik yang makin membuat ngantuk, lebih baik kita memanfaatkan waktu untuk belajar sambil enjoy makan bakso. Dan seperti biasa, terima kasih.


sumber : https://kokbisachannel.wordpress.com/2016/10/05/script-benarkah-mendengarkan-musik-klasik-membuat-kita-pintar/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

perbedaan animasi 4D dan 5D

Animasi 4D  Tidak berbeda jauh dengan format 3D, hanya saja efek dari film 4D ini, bukan hanya gambarnya saja yang keluar, melainkan ada getaran-getaran atau efek-efek nyata yg dihasilkan. Misalnya saja film-film animasi bertema kehidupan alam, ketika adegan di air, maka ada air yang menyipratkannya ke wajah kita, atau uap air menetes. Lalu ketika adegan gempa bumi, maka kursi yang kita duduki akan bergetar juga, memang unik dan mengasyikan tetapi para penonton pasti tidak akan fokus ke filmnya melainkan ke efeknya saja. Film berformat seperti ini tidak hanya mengacu pada layar bioskop saja, melainkan beberapa aplikasi media seperti penggerak kursi yang menghasilkan getaran, uap air, serta beberapa efek lainnya, termasuk AC yang bisa tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin saat adegan salju, dan Heater yang dapat memanas saat adegan padang pasir. Dan format film ini pun harus diputar pada bioskop-bioskop khusus saja. Sedangkan animasi 5D sebenarnya di beberapa negara eropa ada ne...

Kenapa 1 Tahun Itu 12 Bulan?

Nenek moyang kita dulu membuat kalendar berdasarkan berbagai macam perhitungan. Mulai dari perhitungan astronomi, pergantian musim, peristiwa politik hingga prediksi kiamat. Ini seperti yang ditanyakan oleh teman-teman kita ini, kenapa sistem kalender kita harus memiliki 12 bulan dalam setahun? Kenapa bukan misalnya, 20 bulan? Apa dasar perhitungannya? Pendeknya, kalender yang kita gunakan sekarang itu mengadopsi sistem kalender romawi. Awal mulanya, sistem dalam kalender romawi ini hanya memiliki 10 bulan atau 304 hari saja dalam setahun. Tapi, jumlah 10 bulan ini kemudian dianggap kurang tepat, karena tidak bisa sinkron dengan pergantian musim yang terjadi. Hingga akhirnya, Kaisar Romawi pada saat itu, Numa Pompilius, menambahkan 2 bulan baru, yakni Januari dan Februari. Dan kemudian setelah itu, disempurnakan lagi oleh sistem kalender Julian, yang namanya diambil dari Julius Caesar, kaisar romawi saat itu. Lalu ketika bangsa di eropa mulai mengembangkan sains dan memahami astron...

Bagaimana Cara Mengetahui Umur Benda Purba?

Coba tebak, sudah berapa lama Sultan Jogjakarta yang pertama meninggal? Jawabannya mudah. Kita kurangkan saja tanggal hari ini dengan tanggal kematian sang sultan. Tapi, bagaimana kalau kita ditanya, sudah berapa lama Firaun Mesir yang pertama meninggal? Atau, sudah berapa lama kucing kesayangannya meninggal? Pertanyaan semacam ini, tampaknya selalu bisa dijawab oleh para peneliti benda purba. Buktinya, setiap peninggalan bersejarah yang kita lihat di museum selalu ada keterangan umurnya. Namun seperti pertanyaan ini, pernahkah kalian penasaran, bagaimana para peneliti bisa tahu umur mumi, prasasti, atau benda-benda purba lainnya? Padahal, mereka jelas belum lahir pada zaman itu. Apakah mereka cuma asal tebak? Atau jangan-jangan, para peneliti ini diam-diam punya mesin waktu? Ternyata, pengukuran umur benda purba bisa dilakukan secara ilmiah tanpa perlu time-travel, yaitu dengan teknik dating. Bukan… Bukan dating yang itu, tapi dating yang lainnya. Teknik dating benda purba sendiri...